Mengenai Saya

suka suasana alam d rumah. Sering bgt..merasa profesi tetangga lebih menjanjikan daripada profesi sendiri. Dan skarang berusaha mencintai farmasi..

Jumat, 07 Januari 2011

afla



                                

Siklus hidup dan proses infeksi

Proses infeksi cendawan entomopatogen terhadap inangnya (serangga) dibagi menjadi fase parasit dan fase saprob. [5] Penyerangan pada serangga inang dilakukan melalui penetrasi langsung pada kutikula.[4] Pada awalnya spora cendawan melekat pada kutikula, selanjutnya spora berkecambah melakukan penetrasi terhadap kutikula dan masuk ke hemosoel.[4] Cendawan akan bereproduksi di dalamnya dan membentuk hifa.[4] Serangga akan mati, sedangkan cendawan akan melanjutkan siklus hidupnya dalam fase saprob.[4] Setelah tubuh serangga inang dipenuhi oleh massa miselium, tubuh tersebut akan mengeras dan berbentuk seperti mumi yang berwarna putih, hijau, atau merah muda.[4] Setelah itu spora akan diproduksi untuk menginfeksi inang lainnya. [4]

[sunting] Manfaat

Cendawan entomopatogen sejauh ini telah dimanfaatkan sebagai agens pengendali hayati dan bahan obat herba. [4] Di Indonesia, agens hayati cendawan entomopatogen digunakan untuk mengendalikan hama pada tanaman perkebunan [6] Cendawan entomopatogen dapat pula dimanfaatkan sebagai obat herba.[4] Beberapa anggota dari Hypocreales dikenal sebagai komponen utama beberapa obat-obatan, di antaranya ialah Cordyceps sinensis, Hypocrella, dan Torubiella. [4]

[sunting] Contoh

Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang sudah diketahui efektif mengendalikan hama penting tanaman adalah Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Nomuraea rileyi, Paecilomyces fumosoroseus, Aspergillus parasiticus, dan Verticillium lecanii. [2]
Aflatoksin
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. sedikitnya ada 13 tipe aflatoksin yang diproduksi di alam. Aflatoksin B1 diduga sebagai yang paling toksik, dan diproduksi oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin G1 dan G2 diproduksi oleh A. parasiticus. Aspergillus flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C sampai 42-430C dengan suhu optimum 320-330C dan pH optimum 6 (Anonimus 2006c).
Di antara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik golongan 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu, telur, dan daging ayam. Sudjadi et al (1999) dalam Maryam (2002) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.
Toksikologi Aflatoksin
Aflatoksin tidak menyebabkan keracunan secara akut, namun secara kronis menimbulkan kelainan organ hati. Penyimpanan makanan dalam waktu lama dan cara yang tidak benar, menyebabkan kerusakan pada bahan makanan tersebut oleh mikroorganisme dan jamur yang dapat menghasilkan aflatoksin. Tidak ada spesies hewan, termasuk juga manusia, yang kebal terhadap efek toksik akut dari aflatoksin. Namun, manusia lebih mampu bertahan terhadap infeksi akut (Anonimus 2006c).
Kerentanan terhadap aflatoksin sangat besar pada anak-anak, bergantung pada kemampuan tiap individu untuk mendetoksifikasi aflatoksin melalui proses biokimiawi tubuh, dan juga dipengaruhi oleh jenis kelamin (kaitannya dengan konsentrasi hormone testosteron). Toksisitas aflatoksin juga bergantung pada faktor nutrisi.
Aflatoksikosis adalah istilah untuk kondisi keracunan akibat aflatoksin. Terdapat 2 bentuk aflatoksikosis, yaitu bentuk intoksikasi akut dan berat dan bentuk intoksikasi kronik subsimtomatik. Pada bentuk akut, terjadi kerusakan secara langsung pada organ hati, yang dapat diikuti oleh kematian. Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa dosis dan durasi paparan aflatoksin sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan, seperti (Williams et al 2004):
1.Paparan aflatoksin dalam dosis besar mengakibatkan infeksi akut dan kematian, akibat terjadinya sirosis hepatis.
Gejala terjadinya aflatoksikosis berat adalah nekrosa hemoragi organ hati, proliferasi duktus empedu, edema, dan lethargy. Manusia dewasa umumnya lebih toleran terhadap aflatoksin, dari kasus aflatoksikosis yang pernah dilaporkan, kematian banyak terjadi pada anak-anak.
2.Dosis subletal secara kronis menimbulkan gangguan nutrisi dan imunologis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aflatoksin B1 mampu menginduksi terjadinya aplasia timus, menurunkan jumlah dan fungsi limfosit-T, menekan aktivitas fagositik, dan menurunkan aktivitas komplemen. Selain itu, juga disebutkan bahwa kontaminasi makanan oleh aflatoksin menyebabkan supresi respon imun berperantara sel (cell mediated immune responses).
3.Efek kumulatif dari aflatoksin memiliki resiko terhadap terjadinya kanker.
Interaksi antara aflatoksin dengan virus Hepatitis B dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker hati.
Hepatocellular Carcinoma (HCC)
Hepatocellular carcinoma (HCC) atau kanker hati disebut juga primary liver cancer atau hepatoma. Hepatosit merupakan 80% jaringan hati, karena itu 90-95% kanker hati terjadi dari pertambahan sel-sel hati, disebut hepatocellulat cancer. Pada kondisi kanker hati, beberapa sel mulai tumbuh secara abnormal akibat kerusakan DNA. Kerusakan DNA menjadi penyebab terjadinya perubahan proses kimia, termasuk rasio pertumbuhan sel, yang salah satu akibatnya adalah pertumbuhan sel menjadi tidak terkontrol dan membentuk tumor (Fong 2006, Anonimus 2005).
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan DNA pada kanker hati yaitu (Anonimus 2005):
1.Virus Hepatitis B dan C
Di seluruh dunia, infeksi kronis dari virus hepatitis B dan C merupakan penyebab utama terjadinya kanker hati. Hepatitis B menyebabkan terjadinya kanker hati melalui material genetik virus yang masuk ke dalam material genetik sel hati normal sehingga mempengaruhi fungsi normal sel hati dan mengakibatkan kanker. Hepatitis B dapat ditularkan oleh wanita hamil kepada janin yang dikandung.
Hepatitis C dapat ditularkan melalui transfusi darah dan jarum suntik yang terkontaminasi. Pada beberapa kasus, hepatitis C dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Proses pengrusakan DNA oleh virus hepatitis C tidak diketahui secara pasti. Tidak seperti Hepatitis B, material genetik dari virus hepatitis C tidak masuk ke dalam material genetik sel hati normal. Diduga, virus Hepatitis C mempengaruhi aktivitas gen sehingga sel tidak bereproduksi dalam kecepatan yang normal. Selain itu, Hepatitis C menjadi penyebab terjadinya sirosis hepatik sehingga secara tidak langsung menjadi penyebab kanker hati.
2.Sirosis hepatik
Sirosis hepatik dapat timbul oleh kecanduan alkohol atau kondisi hemokromatosis herediter. Kondisi lain adalah seperti yang telah disebutkan, yaitu virus Hepatitis B dan C.
3.Paparan aflatoksin dalam waktu yang lama
Aflatoksin telah diimplikasikan sebagai penyebab kanker hati, yaitu melalui kemampuannya menimbulkan perubahan (mutasi) pada gen p53.
4.Bahan kimia vinyl chlorida dan thorium dioksida (Thorotrast)
Kedua bahan kimia tersebut dapat menyebabkan hepatik angiosarcoma.
5.Arsenik
6.Primary biliarycirrhosis
Peradangan duktus empedu pada hati meningkatkan resiko terjadinya cholangiocarcinoma, suatu tipe kanker hati primer.
7.Colitis ulceratif
Interaksi Aflatoksin dengan Virus Hepatitis B
Studi menunjukkan bahwa infeksi virus Hepatitis B yang terjadi bersamaan dengan paparan aflatoksin akan meningkatkan resiko terjadinya hepatocellular carcinoma (HCC). Adanya hubungan antara aflatoksin dengan terjadinya karsinoma hepatik primer telah ditemukan. Pada kasus karsinoma hepatik primer, diduga bahwa dalam jangka waktu tertentu penderita telah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi kapang penghasil aflatoksin.
Keberadaan konjugat aflatoksin M1-DNA untuk waktu yang kama meningkatkan resiko terjadinya mutasi gen, misalnya gen p53, yaitu melalui gangguan fungsi gen penghambat tumor. Pada saat yang sama, infeksi virus Hepatitis B mempengaruhi kemampuan hepatosit untuk memetabolisme aflatoksin. Dengan demikian, efek interaksi ini menghasilkan kerusakan jauh lebih besar. Weiss (2000) menyebutkan, bila aflatoksin masuk ke dalam tubuh, zat tersebut akan dibawa ke hati untuk dimetabolisme oleh beberapa enzym. Tahap-tahap metabolisme tersebut yang kemudian mengaktivasi aflatoksin untuk berikatan dan merusak molekul DNA yang mengontrol pertumbuhan sel-sel hati, sehingga terjadi mutasi dan karsinogenesis.
Infeksi virus hepatitis B memiliki korelasi yang lebih besar untuk terjadinya kanker hati, dibandingkan dengan paparan aflatoksin. Namun, penelitian menunjukkan bahwa konsumsi aflatoksin melalui makanan yang terkontaminasi dapat menimbulkan supresi dari respon imun vitalethein modulator mediated, yang berpengaruh besar terhadap epidemi infeksi virus hepatitis B serta infeksi virus lainnya seperti hantavirus, ebola, tuberculosis, kanker, dan AIDS (Anonimus 2001).
Deteksi Aflatoksin pada Manusia
Terdapat dua teknik yang banyak dilakukan untuk mendeteksi kadar aflatoksin pada manusia (Anonimus 2006c, Henry et al. 2001). Metode pertama adalah dengan mengukur AFM1-guanin di dalam urin. Kehadiran zat tersebut menjadi indikasi terjadinya paparan aflatoksin selama 24 jam terakhir. Namun, kekurangan dari teknik ini adalah hanya memberikan hasil positif pada sekitar 30% dari individu yang positif terpapar aflatoksin. Hal tersebut disebabkan oleh waktu paruh dari AFM1-guanin. Kadar AFM1-guanin yang terukur dapat bervariasi setiap harinya dan dipengaruhi oleh diet, sehingga teknik ini tidak efektif untuk mendeteksi paparan aflatoksin yang kronis.
Metode kedua yaitu mengukur kadar AFB1-albumin dalam serum. Pendekatan ini lebih akurat, memberikan hasil positif sebesar 90% dari individu yang positif terpapar aflatoksin. Metode ini juga efektif untuk mendeteksi paparan aflatoksin yang kronis (untuk 2-3 bulan).
KESIMPULAN
Terdapat 2 bentuk aflatoksikosis, yaitu bentuk intoksikasi akut dan berat dan bentuk intoksikasi kronik subsimtomatik. Dosis dan durasi paparan aflatoksin, umur, jenis kelamin, serta faktor nutrisi sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan oleh aflatoksin. Infeksi virus Hepatitis B yang terjadi bersamaan dengan paparan aflatoksin akan meningkatkan resiko terjadinya hepatocellular carcinoma (HCC), yaitu melalui gangguan fungsi gen penghambat tumor sehingga terjadi mutasi dan karsinogenesis.
Studi literature:
Disarikan dari tulisan Drh. Kusumandari Indah P
Anonimus. 2001. Aflatoxins and Carcinogenesis Through Alkylation of Vitaletheine Modulators. http://www.highfiber.com/~galenvtp/vtlafltx.htm. [1 Oktober 2006].
________. 2005. Liver Cancer. http://www.cnn.com/HEALTH/library/DS /00399.html. [1 Oktober 2006].
Sumber : - H.Ali Sulaiman, Yulitasari, Panduan praktis Penata laksanaan dan pecegahan
Hepatitis B, Yayasan penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, 2004.
- Pedoman pelaksanaan imunisasi DPT/Hb kombo, Dirjen PPM PL , Depkes RI, 2004.
- Peranan aflatoxin pada karsinoma hepatoseluler, Majalah Kedokteran Indonesia, Feb 1987.
Sumber:
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:BYo6okLfCGgJ:duniaveteriner.com/2010/01/studi-literatur-aflatoksin-sebagai-penyebab-kanker-hati/print+aspergillus+parasiticus+mekanisme+infeksi&cd=10&hl=id&ct=clnk&gl=id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar